Oleh: Ady Candra Effendy. Penulis Sekretaris Umum Indonesian Muslim Society in Qatar (IMSQA). Kinis mahasiswa Pascasarjana Universitas Hamad bin Khalifa, Qatar
SUDAH sunnatullah diatas muka bumi ini bahwa orang-orang yang nyeleneh akan tetap ada di sepanjang masa dan dimanapun. Di lapangan kehidupan apapun kita dapati orang-orang ‘tipikal’ dan ‘model’ seperti ini.
Bukan salah ibu mengandung dan melahirkan. Bukan pula salah ustad dan kiai dalam mendidik. Namun demikianlah, tabiat nyeleneh memang kesukaan dan preferensi pribadi masing-masing.
Di zaman dahulu, di masa kejayaan peradaban Islam, sudah kita dapati model-model seperti ini. Dalam bidang aqidah, ulama besar Hasan Al Bashri harus menyaksikan muridnya sendiri Washil bin Atha’ yang memisahkan diri (I’tazala) dari gurunya yang mulia tersebut dalam riwayat yang sudah masyhur.
Dalam bidang fikih, para ulama empat madzhab menyaksikan munculnya madzhab ‘syadz’ (nyeleneh) seperti madzhab Daud Zhahiri yang mengatakan kencing anjing tidak najis karena tidak ada nash yang mengatakan najisnya hewan anjing.
Di masa kini pun, pandangan nyeleneh ini juga ada. Secara sunnatullah akan selalu ada. Ia hadir justru sebagai pembanding bagi pandangan-pandangan yang lurus dan beroleh petunjuk-Nya (shiratal mustaqim).
Ibarat sebuah garis yang ditarik, sedikit saja kemencengan dari garis lurus itu diteruskan (walau se millimeter) tentulah hasilnya sebuah penyimpangan yang jauh.
Seperti itu pulalah akidah. Penyimpangan (nyeleneh) di bidang akidah berakibat “Naarul Jahim” (neraka jahim).
Politik
Selain banyaknya sikap nyeleneh dalam akidah, sering pula akhir-akhir ini kita temui nyeleneh dalam bidang politik. Ini terbukti dalam wawasan politik mereka menyelisihi pesan ulama-ulama jumhur.
Dengan berbagai argumen dan dalil, kelompok syadziyunini meyakinkan umat Islam lain yang mengikuti ulama-ulamanya yang jumhur, termasuk mayoritas ulama nusantara serta para dai-dai bahwa pilihan syadz (sikap nyeleneh) mereka seolah-olah lebih maslahat bagi masa depan ummat dan agamanya.
Hemat kami, perbedaan ini tak perlu membuat sedih hati. Biarkan saja mereka mengikuti selera dan pilihan syadz (sikap nyeleneh) dan kata hati mereka.
Bukankah dengan kecukupan, kita bisa bersama-sama di barisan jumhur ulama dan orang-orang yang terkenal kesalehan dan kebaikannya sebagai sesuatu nilai yang sangat mahal?
Pilihan mereka jangan membuat kita berlemah hati dengan kaum syadziyyun.
Tegarlah karena kamu bersama jumhuriyyun ulama. Bukankah dengan mengikuti jumhur ini kita telah mengamalkan hadits Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi dari Muadz bin Jabal, beliau bersabda,”
“إن الشيطان ذئب الإنسان كذئب الغنم، يأكل الشاة القاصية، والناحية، فإياكم والشعاب، وعليكم بالجماعة، والعامة، والمسجد”؟
“Sesungguhnya setan itu serigala bagi manusia, seperti serigala bagi kambing, ia akan menerkam kambing yang keluar dan menyendiri dari kawanannya. Karena itu, jauhilah perpecahan, dan hendaklah kamu bersama jam’ah dan umat umumnya.” (Hasan lighoirihi, illa annahu munqothi’)
Dan di akhirat nanti insya Allah semuanya bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala atas segala pilihannya. Insya Allah. Wallahu a’lam bisshawab.*
Sumber: hidayatullah
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/LampuIslam
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/LampuIslam
0 komentar:
Posting Komentar