Berkaitan dengan tanggal 22 Desember yang diperingati sebagai hari ibu, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang memperingatinya dengan membasuh telapak kaki ibu lalu meminum air basuhannya. Hal ini mereka lakukan sebagai simbol seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Lalu darimanakah asal usul mencuci kaki seorang ibu lalu meminum air cuciannya dan apa hukumnya dalam Islam?
Dalam Islam sendiri tidak ada yang mengajarkan kita untuk membasuh kedua kaki ibu. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkan mencuci dan meminum air bekas cucian kaki ibu atau kedua orangtua. Seandainya perbuatan itu baik, maka mereka pasti mendahului kita untuk melakukannya.
Namun, seandainya ibu kita mempunyai keterbatasan sehingga tidak mampu membasuh kedua kakinya sendiri, tentu hal ini pantas kita lakukan dalam rangka berbakti kepada ibu, tetapi tidak meminum air bekas cuciannya. Insya Allah perbuatan ini termasuk berbakti kepada ibu yang diridhai Allah 'Azza wa Jalla serta diberinya pahala.
Mungkin ada sebagian orang yang melakukan perbuatan mencuci telapak kaki ibu lalu meminumnya berdalih dari hadits “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”, lalu bagaimana kedudukan hadits ini dan apakah benar jika ditafsirkan dengan mencuci telapak kaki ibu?
Syaikh Al-Albani dalam Silisilatu Ahaadits Ad-Dhaifah menjelaskan dua riwayat tentang hadist surga berada di bawah telapak kaki ibu, satu riwayat merupakan hadits Palsu [maudhu], sedangkan riwayat yang lain merupakan hadits hasan, oleh karena itu hendaknya kita berpegang pada matan hadits yang hasan tersebut.
Untuk hadist pertama yang berbunyi :
الجنة تحت أقدام الأمهات ، من شئن أدخلن ، و من شئن أخرجن
‘‘Surga berada di bawah telapak kaum ibu. Barangsiapa dikehendakinya maka dimasukannya, dan barangsiapa dikehendaki maka dikeluarkan darinya’’
Hadits ini hadits maudhu' (palsu). Telah diriwayarkan oleh Ibnu Adi (I/325) dan juga oleh al-Uqaili dalam adh-Dhu'afa dengan sanad dari Musa bin Muhammad bin Atha', dari Abul Malih, dari Maimun, dari Abdullah Ibnu Abbas radhiallahu’anhu. Kemudian al-Uqaili mengatakan bahwa hadits ini munkar. Bagian pertama dari riwayat tersebut mempunyai sanad lain, namun mayoritas rijal sanadnya majhul.
Untuk hadist yang kedua berbunyi:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
"Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”
Syaikh al-Albani berkomentar: “Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, jilid 2, hlm. 54, dan yang lainnya seperti ath-Thabrani jilid 1, hlm. 225, no. 2. Sanadnya Hasan insya Allah. Dan telah dishahihkan oleh al-Hakim, jilid 4, hlm. 151, dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan juga oleh al-Mundziri, jilid 3, hlm. 214.” (as-Silsilah adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, pada penjelasan hadits no. 593).
Ketika mentafsirkan hadits ini, Imam Ali al-Qari rah mengatakan: ”Maksudnya yaitu senantiasalah (engkau) dalam melayani dan memperhatikan urusannya”. (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, jilid 4, hlm. 676)
Ath-Thibi mengatakan: ”Sabda beliau: ”…pada kakinya…”, adalah kinayah atau kiasan dari puncak ketundukan dan kerendahan diri, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang…”. (Ibid, (IV/677).
Sedangkan As-Sindi mengatakan: ”Bagianmu dari surga itu tidak dapat sampai kepadamu kecuali dengan keridhaannya, dimana seakan-akan seorang anak itu milik ibunya, sedangkan ibunya adalah tonggak baginya. Bagian dari surga untuk orang tersebut tidak sampai kepadanya kecuali dari arah ibunya tersebut. Hal itu karena sesungguhnya segala sesuatu apabila keadaannya berada di bawah kaki seseorang, maka sungguh ia menguasainya dimana ia tidak dapat sampai kepada yang lain kecuali dari arahnya. Allahu a’lam. (Hasyiyah Sunan An-Nasa-i, karya as-Sindi, jilid 6, hlm. 11, dalam nuskhah yang dicetak bersama Zuhr ar-Rabaa ’Ala al-Mujtabaa, karya as-Suyuti)
Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan ternyata mencuci telapak kaki ibu dan meminum airnya bukan dari ajaran Islam dan hadist surga berada ditelapak kaki ibu tidak bisa ditafsirkan dengan mencuci kaki ibu lalu meminum air bekas cuciannya. Lalu darimanakah asal mulanya perbuatan ini?
Tradisi membasuh kaki ibu ternyata ada dalam ajaran agama Hindu. Ajaran yang dimaksud adalah adat di kalangan penganut Hindu untuk menghormati dan mendapat restu perkawinan, termasuk menyerah sebutir kelapa yang dilubangkan pada bagian atasnya, menuang air susu ke dalamnya, memberi sirih, mencium telapak kaki ibu bapa (membasuh kaki ibu bapa), memberi hadiah dhoti (bapa mertua) serta sari (ibu mertua) dan uang. Dalam keluarga tertentu ada juga ritual dimana seorang anak perempuan, ketika menikah, harus mencuci kaki suaminya dan meminum air cucian kaki tersebut .
Tradisi membasuh kaki ibu juga agak mirip dengan tradisi Nasrani, dimana setiap tahun Paus mencuci kaki para imam-imam, sebuah tindakan kerendahan hati dan konon atas perintah Yesus pada saat perjamuan terakhir (Paskah). Dalam kitab Yohanes 13:4-5 dijelaskan bahwa,’’bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya".
Sedangkan menurut interpretasi yang diakui oleh Gereja Katolik, arti “mencium kaki” ini adalah tanda pertobatan dan ekspresi kasih yang diartikan oleh Yesus sendiri sebagai antisipasi pengurapan pada saat hari penguburan-Nya (lih. Yoh 12:7) (Sumber: The Navarre Bible, Gospels and Acts, (Princeton: Scepter Publisher, 2002) p. 639).
Lalu arti “mencium kaki” menurut tradisi Yahudi adalah untuk menyatakan terima kasih yang tak terhingga, seperti pada kasus “seseorang yang dilepaskan dari hukuman mati di pengadilan akan mencium kaki orang yang membantunya berhasil membela diri.” (Sumber: The Parables: Jewish Tradition and Christian Interpretation, oleh Brad H. Young, (Massachusetts: Hendrickson Publishers, Inc, 1998) p. 162). Maka Maria Magdalena mencium kaki Yesus karena ia bersyukur atas pengampunan Yesus yang membebaskan dia dari belenggu dosa. Mk 16:9 menyebutkan ia adalah wanita yang dari padanya Yesus telah mengusir 7 roh jahat. Maka sudah selayaknya Maria Magdalena bersyukur tak terhingga, sebab Yesus telah melepaskannya dari kuasa jahat ini. Ia bagai seseorang yang telah dilepaskan dari hukuman mati di pengadilan, karena semua orang mendakwanya, namun Yesus mengampuni dan membebaskannya dari roh jahat.
Melihat penjabaran di atas dapat diambil kesimpulan bahwasannya mencuci kaki dan meminum air cuciannya merupakan warisan dari ajaran hindu, nasrani dan yahudi. Bukan dari ajaran Islam. Oleh karena itu bagi setiap Muslim agar jangan sampai melakukan perbuatan ini yang mana perbuatan ini tidak ada dalam ajaran Islam.
Wallahu'alam…
Sumber: facebook
0 komentar:
Posting Komentar