Oleh: Masykur Abu Jaulah
Tidaklah Sama Antara Pembela Berhala Dengan Pembela Tauhid
GENDERANG perang baru saja terhenti. Darah segar masih bercecer di setiap jengkal gurun yang mengitari Bukit Uhud. Tak terhitung banyaknya mayat yang bergelimpang. Di atas bukit tampak pasukan kaum Muslimin berhasil menyelamatkan diri. Iya, mereka nyaris memperoleh kekalahan. Sekiranya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam tak segera memerintahkan mereka berlari menaiki Bukit Uhud. Sebuah kekhilafan pasukan pemanah menjadi sebab hancurnya taktik perang yang disusun ketika itu.
Setengah berani Abu Sufyan memimpin sekelompok pasukan kaum musyrikin. Mereka berniat melakukan pengejaran terhadap para Sahabat. Benar saja, rupanya nyali Abu Sufyan hanya tertahan di kaki Bukit Uhud. Terlebih posisi kaum Muslimin sudah mencapai puncak bukit.
“Apakah Muhammad masih hidup di antara kalian?” pancing Abu Sufyan memulai psy war (perang psikologi) kepada Umat Islam. Sebelumnya, desas-desus kematian Nabi sempat meruak.
Tak heran sebagian kaum Muslimin sempat merasa downdengan berita kematian itu.
Suasana hening. Tak ada kalimat yang berbalas. Hanya riuh pesta burung bangkai yang terdengar. Selebihnya deru angin gurun yang kian bertiup kencang.
“Apakah Abu Bakar masih bersama kalian?” tanya ulang Abu Sufyan. “Apakah Umar masih bersama kalian?” Abu Sufyan mencecar kembali. Sampai di sini, Putra Ibnu Khatthab itu tak lagi bisa menahan diri. Usai memperoleh isyarat “hijau” dari Nabi Muhammad. Umar pun langsung menggebrak kafir Quraisy Makkah itu.
“Seluruh nama yang kau sebutkan itu masih ada bersama kami.” Hardik Umar keras. “Peperangan ini imbang.” Abu Sufyan balik membalas. “Hari ini (perang Uhud) milik kami. Sedang dulu (perang Badar) adalah milik kalian,” terang Abu Sufyan berdalih.
Suasana kembali hening. Sekali waktu, sorak-sorai nama berhala Quraisy Makkah berbalas dengan kalimat tauhid “La Ilaha Illallah” yang diserukan oleh pasukan umat Islam.
“Tidak! Tidak akan sama!” seru Umar dengan suara bergetar. Apa yang kalian sangkakan adalah tidak benar. Orang-orang yang terbunuh di antara kami masuk ke dalam surga, sesuai janji-Nya. Sedang mayat-mayat kalian hanyalah menjadi bahan akar api neraka.” Kata demi kata itu demikian jelas menusuk pendengaran Abu Sufyan. Kembali, hanya deru angin padang gurun yang terdengar. Suasana diam kembali.
Dunia di Tangan
Bagi orang-orang beriman, gemerlap dunia adalah nikmat sekaligus ujian tersendiri. Ia adalah peluang merangkap tantangan yang harus disikapi dengan benar. Dunia bagi orang-orang beriman hanya bisa diletakkan di tangan. Tanpa boleh membuka celah memasukkannya di hati.
“Janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita tertinggi kami. Janganlah Engkau jadikan dunia sebagai ujung dari pencarian ilmu kami,” demikian Nabi mengajarkan dalam munajatnya yang agung.
Ibarat pelangi yang memancar cerah. Dunia itu indah bersebab ragam warna yang dipunyai. Hari ini orang bisa beroleh bahagia, sedang esok hari ia tersedu karena durja. Terkadang ia bisa mendadak kaya. Selang beberapa saat ia kembali terpuruk miskin. Ada haru dengan kesuksesan. Pun ada tangis dalam kegagalan. Segala sesuatu itu berpasangan. Itulah kunci dan sunnatullah kehidupan. Demikianlah cara Allah medidik hamba-hamba-Nya. Sebuah keniscayaan hidup yang berlaku bagi setiap makhluk Allah.
Terkesan sama, padahal tidak sama sekali. Terkesan kalah padahal tidak sama sekali. Itulah makna ucapan Umar bin Khatthab ketika menghardik Abu Sufyan di puncak bukit Uhud.
Ada nilai yang berbeda ketika pekerjaan itu dilakoni oleh mereka yang punya keyakinan terhadap perkara ghaib dan hari kiamat.
Ada positioning berbeda dalam usaha yang dilakoni oleh pelaku-pelaku tauhid dibanding dengan para pemuja berhala dunia. Inilah keyakinan yang tak boleh pudar dalam jiwa orang-orang beriman.
Godaan dunia hendaknya membuat ia kian kokoh dalam tekad kuatnya. Meski secara kasat mata pekerjaan itu adalah sama. Meski ia dianggap kalah dan pecundang sekalipun oleh lawan-lawannya.
Untuk itu pasukan Uhud tidak pernah kalah meski harus terdesak hingga ke garis pertahanan yang terakhir sekalipun. Sebaliknya, orang-orang musyrik Makkah tak pernah bisa menang. Walau mereka berhasil memukul mundur kaum Muslimin.
Sebabnya satu. Ada hadiah terindah bagi orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sedang bagi orang-orang yang ingkar terhadap-Nya ada cemeti api yang menanti. Bagi para pejuang kebenaran, ada surga selapang langit dan bumi buat mereka. Sedang kubangan neraka itu disediakan bagi penikmat-penikmat kemaksiatan yang tak hendak bertaubat.
وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً
“Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa:69).
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/LampuIslam
0 komentar:
Posting Komentar