Oleh: Akmal Sjafril || Twitter: twitter.com/malakmalakmal
Menurut Prof Al-Attas, sekularisme mengandung 3 unsur: Disenchantment of nature, deconsecration of politics, dan desacralization of values. Dari ketiga unsur ini, kita dapat melihat bahwa sekularisme adalah ideologi yang anti agama; anti dengan yang sakral-sakral. Dengan kata lain, sekularisme itu adalah sikap ‘yang penting jangan dari agama.’ Ini adalah wajah sekuler yang jauh dari intelek. Mereka melihat sumbernya, bukan isinya. Sebagai contoh, Islam punya solusi yang lebih tegas untuk menangani korupsi. Hukumnya lebih keras, efek jeranya kuat. Tapi berhubung asalnya dari agama, maka ia harus ditolak biarpun solutif.
Dalam Biografi M. Natsir yang ditulis oleh Ajip Rosidi, ada kisah menarik tentang sikap anti agama ini. Suatu hari, Natsir diundang menghadiri sebuah kongres wanita. Pimpinan sidangnya bernama Soewarni. Para undangan dipersilakan menyampaikan pandangannya tentang masalah-masalah wanita. Pemikiran Gandhi, Sun Yat Sen dan tokoh-tokoh lain sudah disampaikan oleh para pembicara. Natsir merasa sudah saatnya ada yang menyuarakan pemikiran Islam. Beliau bicara soal keteladanan Rasulullah s.a.w. Baru bicara sedikit, pimpinan sidang (Soewarni) mengetuk palu. Katanya, tidak boleh bawa-bawa agama. Pimpinan sidang secara radikal menolak pemikiran APAPUN yang berasal dari agama. Termasuk Islam. Natsir berkata bahwa ia tidak akan membicarakan soal agama, tapi soal peranan wanita dalam Islam yang mungkin orang belum tahu. Beliau dipersilakan melanjutkan orasinya, namun hanya diberi waktu dua menit, sementara pembicara lain tidak diberikan batas waktu. Setelah Natsir menyampaikan pemikirannya, Soewarni tidak berbasa-basi dan tidak sekedar mengucapkan terima kasih. Tentu saja, perlakuan kasar seperti ini tidak dialami oleh pembicara lain yang memang tidak menyebut-nyebut soal agama.
Setelah Natsir, Soekarno diberi kesempatan berbicara. Dalam orasinya ia berkata bahwa dirinya antipoligami dan netral agama. Beberapa saat berselang, dalam orasi di lain kesempatan, Soekarno menolak anggapan bahwa dirinya antipoligami. Kita tak perlu bicarakan soal fakta sejarah seputar polemik poligami ini. Tapi soal netral agama, Soekarno tetap berpegang teguh padanya. Natsir dan kawan-kawan seperjuangan, termasuk Hamka, mengatakan bahwa netral agama itu tidak ada.
Pada kenyataannya, yang disuruh netral hanya umat Islam. Umat lain tak pernah dipermasalahkan. Kita bisa melihat dari salah satu idola Soekarno, yaitu Mustafa Kemal yang bergelar Ataturk dari Turki. Walaupun dipuji Soekarno, sebenarnya sekularisme Turki adalah contoh kekejaman Rezim Sekuler. Jilbab dilarang, padahal tidak merugikan siapa-siapa. Hanya Islam-lah yang didiskreditkan oleh rezim sekuler. Adzan hendak diubah jadi bahasa Turki. Apa urgensinya? Ini membuktikan bahwa pemerintah yang netral agama sama sekali tidak netral.
Di Indonesia, belum lama ini juga muncul analisis bahwa nasyid-nasyid jihad melunturkan nasionalisme. Padahal sebelum RI merdeka, seruan mengusir penjajah paling efektif kalau sudah menggunakan kata ‘jihad’. Ketika mengusir penjajah, yang paling kuat perlawanannya adalah kaum yang agamis. Tapi setelah RI tegak berdiri, tiba2 rezim sekuler merasa berhak mengatur. Ini memang desain yang sudah lama diterapkan oleh penjajah. Umat Islam disuruh sekuler, netral agama, atau apalah. Pemerintah kolonial menghapus pelajaran agama dari sekolah-sekolah dengan alasan ‘netral agama’. Pemerintah kolonial mempersulit pendidikan agama Islam, tapi sekolah-sekolah Kristen berdiri menjamur, tidak netral.
Begitulah rezim sekuler bekerja. Karena sejak awal tabiat sekularisme adalah anti agama, maka sampai kapan pun tetap begitu. Jangan dengarkan Ulil Abshar yang mengatakan bahwa sistem sekuler bisa menghimpun kesalehan & kemaksiatan sekaligus. Kenyataannya, yang haq dan yang bathil tak bisa tercampur, apalagi berpadu. Orang-orang sekuler mengatakan bahwa syariat Islam tidak disepakati oleh seluruh masyarakat. Pada kenyataannya, sistem sekuler pun tak diterima oleh 100% rakyat Indonesia, tapi toh dipaksakan juga.
Agen-agen sekuler selalu mengesankan bahwa sekularisme adalah kompromi dari semua agama. Pada kenyataannya, tidak ada kompromi dari rezim sekuler, terlebih lagi untuk Islam. Orang-orang sekuler lebih suka berbicara bahwa jilbab itu nggak wajib, dsb. Mereka bungkam pada kenyataan bahwa banyak perempuan yang dipaksa memperlihatkan rambut, betis, dan pahanya untuk pekerjaan. Di Turki dulu, Muslimah yang ingin jadi wakil rakyat dilarang hanya karena tidak sudi memperlihatkan auratnya. Kalau benar-benar pakai logika, mana yang lebih jahat: memaksa menutup aurat atau memaksa membuka aurat? Rezim sekuler menolak perempuan-perempuan yang akalnya cemerlang hanya karena paha, betis, dan kepalanya tertutup.
Rezim sekuler memang tidak siap untuk berdebat secara intelektual. Sebagus apapun, kalau dari agama, maka mereka tolak. Dengan demikian, rezim sekuler mengabaikan begitu saja ide-ide cemerlang kalau asalnya dari agama, apalagi dari Islam. Rezim sekuler tidak peduli pada pakaian seronok, tapi benci sekali kalau ada yang pakai sorban. Mereka tidak netral.
Rezim sekuler dimanapun pasti menyengsarakan umat beragama, terutama umat Islam yang punya pegangan Qur’an dan Sunnah. Kedua pegangan ini adalah keistimewaan Islam, referensinya tak berubah sejak dahulu. Ulama boleh menulis apa saja dan berdebat tentang apa saja. Fatwa boleh berganti, tapi referensi mereka harus dikembalikan kepada ke Qur’an dan Sunnah.
Orisinalitas Islam adalah ancaman bagi rezim sekuler, karena menyulitkan mereka untuk mengutak-atik agama Islam. Kita bisa lihat sendiri betapa lemah argumen-argumen kaum liberalis di Indonesia, sebab argumen-argumen mereka tak didukung Qur’an dan Sunnah. Sebaliknya, rezim sekuler berusaha keras agar umat Islam tak lagi berpegang pada keduanya.
Orisinalitas Islam juga ancaman bagi doktrin rezim sekuler terhadap agama. Bagi orang-orang sekuler, manusia berkembang terus, karena itu agama menurut mereka harus direvisi terus. Menurut mereka, manusia zaman sekarang lebih pintar daripada manusia zaman dulu. Dan manusia di masa depan akan lebih pintar daripada di zaman sekarang.
Kekokohan Islam adalah antitesis dari sekularisme itu sendiri, itulah sebabnya rezim sekuler sangat anti Islam. Rezim sekuler selalu bersikap represif terhadap Islam dan para aktivis dakwah karena Islam adalah ancaman bagi mereka. Dan karena rezim sekuler selalu memperlakukan Islam sebagai musuhnya, maka semakin jelaslah bahwa sekularisme tidaklah netral. Sekularisme menumpulkan akal manusia, menutup pintu diskusi pd gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh agama.
Pada kenyataannya, gagasan-gagasan sekuler itu sendiri terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah, hanya gali-tutup lubang. Mereka gengsi untuk menyatakan bahwa seks bebas itu berbahaya dan terlaknat hanya karena konsep zina asalnya dari agama. Sementara itu, sekularisme tak menawarkan solusi apa pun terhadap masalah-masalah yang timbul dari free sex. Solusi yang ditawarkan tak lebih dari kondom dan ATM kondom. Sebab gagasan-gagasan cemerlang dari agama sudah mereka tolak.
Syariat Islam, sebaliknya, terbukti menawarkan solusi dan tidak mendiskreditkan umat lain. Sebagaimana ditegaskan oleh Hamka, bagian penting dari syariat Islam adalah menjamin kebebasan umat lain. Syariat Islam merinci sikap pemerintah terhadap warga non-Muslim. Ini adalah sebuah keistimewaan tersendiri. Sebab, syariat agama lain tak secara eksplisit mengatur kesejahteraan hidup umat lainnya.
Demikian juga sekularisme, ia tak pernah menegaskan kebebasan umat Islam untuk jalankan agamanya sendiri. Janganlah heran jika rezim sekuler akan terus bentrok dengan Islam. Ini adalah sebuah pertarungan abadi. Jadi jika ada rezim sekuler yang digulingkan oleh umat Islam, itu adalah reaksi logis dari ketidakadilan yang mereka lakukan sebelumnya. Sebaliknya, jika umat Islam tidak sadar bahaya rezim sekuler, maka pasti ada yang salah dengan pemahaman dan wawasannya.
Sumber: cooltwit.wordpress.com
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/LampuIslam
0 komentar:
Posting Komentar