Ada hal menarik yang menjangkiti kalangan Islam liberal. Mereka suka dengan apapun yang ‘baru’. Apa pun yang terlihat baru, akan mereka anggap revolusioner. Padahal hanya TERLIHAT baru. Sesuatu yang terlihat baru bisa jadi sebenarnya sama sekali tidak baru, hanya saja kita belum pernah melihatnya. Orang memang akan mudah bingung jika tidak memahami persoalan secara konseptual.
Inilah contoh kasus kebingungan itu. Sebenarnya, ini sama sekali bukan hal baru. Entah sudah berapa kali saya mendengar retorika begini. Retorika ini membuat orang bingung semakin bingung. Mengapa harus beragama jika Tuhan saja tidak beragama? Ujung-ujungnya adalah pluralisme agama (mengatakan semua agama itu benar). “Kalau Tuhan tidak beragama, maka agama mana pun sama saja. Buat apa meyakini agama sendiri sebagai yangpaling benar? Toh, Tuhan pun tidak beragama!” Kurang lebihnya begitu. Ada juga yang bilang: “Saya menyembah Tuhan, bukan menyembah agama!” Ini konsep pluralismenya John Hick: “beralih dari ‘religion-centredness’ ke ‘God-centredness’!” Ini cuma sejengkal saja jaraknya dengan paham spiritualisme yang mengatakan: “spiritualism unites, religion divides (spiritualisme menyatukan, agama memecah-belah).”
Singkat cerita, pemikiran ini membawa orang dari keadaan KETIADAAN ‘IZZAH menuju KETIADAAN IMAN. Retorika-retorika semacam ini cukup berhasil dipropagandakan pada mereka yang tidak punya ‘izzah (kebanggaan) sebagai Muslim. Pada akhirnya, mereka tidak lagi beriman, atau keimanannya ambigu. Mengaku Muslim, tapi agama lain dibenarkan juga.
Pangkal persoalannya adalah minimnya pemahaman soal konsep agama itu sendiri. Kata “agama” memang bisa diartikan bermacam-macam, sebab bahasa Indonesia tidak punya ‘sistem akar kata’, berbeda dengan bahasa Arab, di mana setiap kata bisa ditelusuri maknanya dengan memahami akar katanya. Kita menggunakan kata diin dalam bahasa Arab yang bermakna “agama”. Prof. Naquib al-Attas menguraikan makna diin dalam banyak karyanya. Menurut beliau, ini penting sekali. Kata diin, jika dirunut akar katanya, memiliki makna seputar “hutang” dan “keberhutangan”. Singkat cerita, menurut al-Attas, perasaan berhutang itulah inti dari beragama. Orang yang sudah tidak merasa ‘berhutang’ lagi kepada Allah niscaya tidak bisa dipaksa untuk menjalankan ajaran agama. Pada hakikatnya, semua yang kita miliki adalah milik Allah. Semuanya akan kembali kepada Allah. Dengan demikian, apapun yang kita miliki adalah ‘hutang’ kepada Allah. Tentu saja, hutang kepada Allah tidak bisa kita lunasi, sebab semuanya milik Allah! Jika kita beramal shalih, maka segala yang kita gunakan untuk beramal shalih itu pun adalah milik Allah. Jika kita berbuat baik dan bersyukur, Allah malah akan menambah rahmat-Nya, maka ‘hutang’ kita bertambah lagi. Dari sinilah kita memahami interaksi cinta, takut, dan harap antara manusia dengan Allah s.w.t.
Dari uraian singkat di atas, tentu kita akan terheran-heran dengan orang yang bertanya: “Allah itu agamanya apa?” Allah berhutang kepada siapa? Jika pertanyaan ini dijawab, mudah saja melihat kontradiksi dari retorika di atas. Karena Allah tidak berhutang pada siapa pun, maka tentu tidak ada yang pernah mengatakan ‘Allah beragama.’ Ibadah adalah hal penting yang diajarkan oleh agama. Apakah Allah beribadah? Tentu tidak! Kalaupun ada istilah “Agama Allah” (misalnya dalam frase ‘membela Agama Allah’), maknanya tidak sama. Kenapa tidak sama? Ya, karena Allah tidak sama dengan manusia, atau dengan apa pun. Dalilnya sudah dihafal semua anak SD: “wa lam yakun lahuu kufuwan ahad!” Kalau dikatakan “membela agama Allah”, artinya membela agama yang diridhai Allah.
Mengapa ada orang kuliah jauh-jauh ke Universitas Al-Azhar, Kairo, tapi tidak paham masalah semudah ini? Wallaahu a’lam. Menurut saya, ini semua cuma masalah rendahnya harga diri, lemahnya kebanggaan sebagai Muslim. Kalau harga diri sudah rendah, apa pun yang dibawa orang akan dianggap hebat, dan ditiru mentah-mentah.
Bahkan dalam hal ini, mengambil konsep agama dari sebuah film. Bukalah mata, luaskan wawasan. Jangan pelihara perasaan rendah diri, karena kita adalah khalifah Allah di muka bumi. Tentu kita punya kelemahan, tapi kita pun punya kemampuan untuk belajar. Pada akhirnya kita akan bertanggung jawab kepada Allah. Semoga Allah s.w.t melindungi kita semua dari kejahilan yang menghinakan, aamiin...
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/LampuIslam
0 komentar:
Posting Komentar