Saya ingin melanjutkan kembali artikel singkat beberapa hari yang lalu tentang Agama Tuhan. Diskusinya berawal dari tweet yang ini.
Untuk membaca artikel sebelumnya, silahkan mampir ke Apakah Agama Tuhan (Bagian Pertama). Saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca artikel sebelumnya untuk mendapat gambaran yang lebih utuh dari apa yang akan dibicarakan di artikel ini.
Sebelumnya saya sudah membahas kerancuan utama dalam pertanyaan “Apakah Tuhan beragama?” Pembahasan saya fokuskan pada makna diin yang biasa diterjemahkan sebagai “agama”. Jika berpegang pada istilah “agama”, kita memang bisa kebingungan. Tapi tidak jika memahami makna diin.
Tapi ada hal lain yang menarik perhatian saya. Mari kita simak lagi tweet-nya. Ada hal lain yang membuat akal Anda ‘tergelitik’? Sebagian orang saya rasa sudah menyadarinya. Hal menarik yang saya maksud adalah keputusan Zuhairi Misrawi (tokoh Islam liberal) untuk berdiskusi tentang Tuhan dengan seorang pastur. Ya, pastur! Tahu pastur kan? Yang jelas, yang namanya pastur tidak beragama Islam, kan? Pertanyaan kritisnya adalah: Mengapa seorang Muslim bertanya soal Tuhan kepada seorang pastur? Apakah seorang pastur meyakini Tuhan yang sama dengan seorang Muslim? Ini juga mesti dijawab. Semua orang yang mengajukan teori pluralisme agama pada akhirnya harus ‘membentur’ pertanyaan ini. Kemudian, mereka pun memformulasikan jawaban. Semuanya berdasarkan spekulasi.
John Hick, misalnya, mengatakan bahwa Tuhan yang disembah semua agama sama, namun perspektifnya berbeda. Islam, misalnya, menekankan pada keesaan Tuhan, tapi Kristen menekankan pada ‘kasih sayang’ (begitulah kebanyakan dari mereka berkata). Ini 100% spekulasi, sebab di zaman Rasulullah s.a.w, agama Kristen sudah ada, dan sudah ditolak habis-habisan. Lihat Q.s Al-Maa’idah[5]:72. “...telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam’”. Jelas! Bagaimana menyamakan Tauhidullaah dengan Trinitas? Cek Qs. Al-Maa’iah [5]:73 “Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa.” Sangat jelas! Apalagi, umat Muslim sudah membaca Surah Al-Kaafiruun. “Aku tidak menyembah apa yang engkau sembah!” Silahkan cek lagi artikel saya tentang Surah Al-Kaafiruun ini di: Tentang Surah Al-Kaafiruun
Wilfred Cantwell Smith lain lagi dengan John Hick. Sejak awal ia sudah menolak istilah religion atau “agama”. Sebagai gantinya, ia menggunakan istilah faith (keyakinan) dan cummulative tradition (tradisi kumulatif). Dengan menggunakan istilah faith, ia membatasi agama pada urusan pribadi, padahal Islam mengatur kehidupan sosial juga. Dengan istilah cummulative tradition, seolah-olah agama hanya tradisi lokal saja. Apakah Islam ini tradisi Arab? Orang seperti Nasr Hamid Abu Zayd yakin betul Islam adalah agama yang sejalan dengan budaya Arab 14 abad yang lalu. Apa benar? Jika sesuai dengan tradisi Arab, perlukah Nabi s.a.w dan para sahabatnya menderita sedemikian rupa? Mengapa mereka diperangi jika memang Islam sesuai dengan tradisi Arab? Jika akal Anda masih berfungsi, pasti Anda memahami bahwa Islam justru mengobrak-abrik tradisi Arab jahiliyah. Sebaliknya, jika akal Anda sudah rusak, ya cenderung membebek pada Abu Zayd tanpa bersikap kritis.
Para tokoh pluralis dari aliran ‘humanisme sekuler’ mengganti religion dengan religious experience. Mereka percaya bahwa agama dan Tuhan itu sebenarnya ada dalam benak masing-masing, maka diserahkan pada setiap individu. Kalau sudah begini, maka bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi manusia yang ‘menciptakan’ tuhan. Terdengar tidak asing? Nih ada contohnya.
Masih banyak teori pluralisme lainnya. Kebetulan tesis saya tentang pluralisme, jadi alhamdulillaah banyak referensi. Yang jelas, semua ini cuma spekulasi. Spekulasi bagi yang malas berpikir, lebih jelasnya! Dengan gampangnya kaum pluralis mengatakan Tuhan itu satu, tapi dipanggil dengan nama yang berbeda. Apa iya ini cuma soal perbedaan nama? Apakah konsep ketuhanan secetek itu? Kalau Anda cukup cerdas, pasti akan menyadari bahwa konsep ketuhanan yang berbeda-beda itu konsekuensinya besar.
Dalam agama Kristen, tuhan menciptakan manusia, sesudah itu menyesal. Jangan heran jika kemudian di Barat muncul Freud yang yakin bahwa manusia pada dasarnya berkeinginan jahat. 180 derajat bertentangan dengan Islam! Menurut Islam, pada dasarnya fitrah manusia itu baik! Jika manusia berbuat zalim, maka yang pertama sekali ia zalimi adalah dirinya sendiri. Subhaanallaah! Sungguh berbeda Allah s.w.t dengan segala yang mereka pertuhankan itu! Maka, jika ada seorang Muslim bertanya soal Tuhan kepada seorang pastur, telah jelaslah kebodohannya.
Terakhir, saya ingin lebih memperjelas lagi perbedaan antara pemahaman kita (Muslim) dengan pastur. Umat Kristen percaya bahwa tuhan mewujud menjadi manusia dalam sosok Yesus. Kita hormati keyakinan mereka, karena bagaimana pun, kita juga harus meyakini perbedaan di antara kita. Bagi umat Kristiani, Yesus adalah sosok teladan. Ia turun ke dunia untuk mengajarkan kebaikan pada manusia. Umat Muslim juga meneladani kebaikan, tapi dari para Nabi dan Rasul, bukan langsung dari Allah s.w.t. Mengapa? Sebab, Allah s.w.t bukan manusia. Manusia tidak bisa mencontoh-Nya. Allah s.w.t tidak memiliki kebutuhan, sedangkan manusia secara fitrah memilikinya. Oleh karena itu, teladan bagi manusia adalah manusia juga, bukan Allah, bukan malaikat. Para Nabi dan Rasul punya kebutuhan yang sama seperti manusia lainnya, maka mereka bisa menjadi teladan. Oleh karena itu, jika Tuhan sendiri yang mewujud menjadi manusia untuk menjadi teladan, maka ini kontradiktif bagi akal.
Untuk menggoyahkan akal sehat, ada saja yang berargumen ganjil. Misalnya, ada yang beretorika: “Jika Tuhan memang Maha Kuasa, apa anehnya jika ia mewujud menjadi manusia?” Dalam logika mereka, justru Tuhan akan dianggap Maha Kuasa jika menjadi manusia, dan mati seperti manusia. Pengguna logika semacam ini lupa bahwa persoalannya adalah: Apakah Tuhan berkehendak demikian? Formulasi pertanyaan yang tepat adalah: “Apakah Tuhan mau merendahkan diri-Nya menjadi seperti makhluk ciptaan-Nya?” Itulah sebabnya umat Muslim selalu mensucikan nama Allah. Subhaanallaah! Subhaanaka! Jika Allah menjadi manusia, maka itu bukan bukti ke-Maha Kuasa-an, melainkan kehinaan. Nabi Musa a.s pernah memohon agar mampu melihat Allah. Bacalah di Qs. Al-A’raaf [7]:143, dan ambillah pelajaran dari kisah tersebut!
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman." (Qs. Al-A’raaf [7]:143)
Kesimpulan yang saya ambil dari sini adalah: tidak masuk akal seorang Muslim bertanya soal Tuhan kepada pastur. Sebab, “Tuhan” yang ada dalam benak kita jauh berbeda dengan apa yang ada dalam benak seorang pastur. Apa yang dianggap ‘logis’ bagi umat Kristiani justru dianggap tidak logis oleh umat Muslim. Kedua pendapat tersebut saling bertentangan, anda tidak bisa memilih keduanya! Jika tunduk pada seorang pastur, tunduk pula pada logikanya! Jadi, sejak awal, diskusi Zuhairi Misrawi dengan sang pastur sudah sangat keliru. Ketiadaan ‘izzah adalah kuncinya! Semoga kita terus menjadi hamba-hamba yang menyucikan nama Allah s.w.t, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin...
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/LampuIslam
0 komentar:
Posting Komentar