Kalau saya lihat-lihat nih, di kalangan Islam liberal yang akar rumput (ilmunya dangkal) itu banyak yang 'tiba-tiba cendekiawan'. Yang akar rumput ya, bukan yang elit. Kecenderungannya begitu. Banyak yang dari SD, SMP, sampai SMA gak menonjol, lalu aktif diskusi Islam liberal ketika kuliah dan tiba-tiba berlagak cendekiawan. Dari SD sampai SMA dia gak dianggap pintar, kebetulan pas kuliah masuk lingkungan tertentu, tiba-tiba jadi deh 'cendekiawan'. Ada yang ketika kuliah ikut acara kemahasiswaan selama 4 hari, pulang-pulang sudah sok filsuf, padahal serba kurang ilmu. Atau ada yang suka ikut diskusi sampai pagi buta, setelah beberapa kali ikut sudah berani mengkritisi agama. Jangan lupa, mereka ini yang sejak SD sampe SMA gak menonjol. Kuliahnya di kampus dengan passing grade seadanya, tapi tahu-tahu berlagak 'pintar'.
Yang jadi pemikiran saya: apa iya orang bisa tiba-tiba jadi pintar? Mungkin itu sebabnya Islam liberal selalu 'ngumpet' supaya mereka bisa membuat satu sama lainnya MERASA pintar. Dari SD sampai SMA, mereka bukan siapa-siapa. Ketika kuliah, mereka rajin diskusi, tiba-tiba orang lain seolah-olah bukan siapa-siapa. Apakah ini logis? Kuliah di kampus gurem, passing grade memprihatinkan, tapi yang dikritisi gak tanggung-tanggung: ulama, agama, Nabi, malah Tuhan sekalian! Logiskah ini?
Kalau menurut saya sih orang memang bisa berubah. Tapi perubahan instan seperti itu gak masuk akal. Orang biasa-biasa saja gak mungkin jadi super pintar dalam waktu singkat, melampaui teman-temannya yang memang beneran pintar. Untuk jadi pintar di masa-masa kuliah ada rentang waktu penuh perjuangan dari SD sampai SMA, gak bisa dengan jalan pintas begitu saja. Maka yang sering terlihat adalah kecerdasan palsu, alias memaksa ingin diakui cerdas. Orang-orang seperti ini, kalau sudah terdesak ya keluar deh kosa kata aslinya. Muncul isi kepalanya, sesuai kadarnya.
Dalam pandangan saya, tidak ada orang yang mendadak jadi cendekiawan, tidak masuk akal sama sekali. Bagi yang Alhamdulillaahpunya rezeki untuk mengenyam pendidikan, ada jenjang pendidikan yang harus dilalui. Runyamnya, di Indonesia, sistem pendidikannya sangat tergantung 'kasta'. Mereka yang prestasinya tidak bagus di SD, maka akan susah masuk SMP yang bagus. Kalau SMP-nya gak bagus, susah juga masuk SMA yang bagus, dan seterusnya. Ini sebenarnya fenomena yang kurang baik, dan sudah sering saya kritisi. Harusnya semua mendapat kesempatan berkompetisi yang sama. Nyatanya, yang masuk SMP bagus lebih beruntung. Soalnya lingkungannya bagus, lebih mudah bagi mereka untuk masuk SMA favorit.
Bagaimana pun saya juga tidak menganggap bahwa rapor adalah segala-galanya. Ada seorang teman saya yang prestasinya biasa-biasa saja, tapi semua orang tahu bahwa dia pintar. Hanya saja kepintarannya tidak termasuk dalam poin yang ditulis di rapor. Ini masalah pendidikan juga. Saya tau sejak dulu dia pintar berorganisasi, bukan pintar di mata pelajaran Fisika, Kimia, dan lain-lain. Dan sekarang dia sukses, masya Allah. Itulah yang saya maksud 'cerdas'. Walaupun bukan pintar di pelajaran, tapi kita mudah kok mengenali orang cerdas.
Nah anehnya, sekarang ini ada yang sejak SD sampai SMA gak dianggap cerdas, tiba-tiba ketika kuliah bisa memaki ulama. Gak tanggung-tanggung, Imam Syafi'i pun dicelanya. Hebat bener, kuliah apa dia? Kuliah beberapa semester tapi sudah bisa memaki orang yang kecerdasannya sudah sangat termasyhur? Apakah logis? Padahal di sekolahnya dulu dia tidak dianggap cerdas oleh siapa pun. Di pelajaran biasa aja, di bidang lain pun biasa. Kadang-kadang bukan kuliahnya yang membuat orang jadi 'ajaib' begitu, tapi diskusi-diskusi di luar kampus. Ada juga yang begitu.
Akhirnya muncullah 'intelektual' yang semacam begini. Apa benar intelek? Biarpun berpura-pura cerdas, tetap saja tidak kelihatan cerdas. Siapa yang bisa ditipu? Ya, yang sama-sama gak cerdas.
Katanya sih, Islam liberal itu kontekstual, ya nggak? Sesuai zaman. Nyatanya? Memperbandingkan kita dengan Nabi s.a.w jelas gak apple to apple (gak sebanding pengukurannya), karena beda zaman dan beda kondisi. Di zaman Nabi s.a.w, sekolah dan membaca bukan ukuran kecerdasan. Mayoritas orang di masa itu gak bisa membaca. Kemudian, membandingkan manusia biasa dengan Nabi jelas gak apple to apple. Nabi s.a.w dibimbing wahyu. Nabi s.a.w itu bikin kesalahan sedikit saja, contohnya, bermuka masam, langsung ditegur Allah. Jelas gak apple to apple dengan kita. Oleh karena itu, kita banyak melakukan hal-hal bodoh dan kesalahan, tidak seperti Nabi s.a.w.
Lagipula nih, yang saya bicarakan itu kan 'cendekiawan karbitan'. Memangnya Nabi s.a.w karbitan? Hahaha. Coba ingat-ingat, Nabi s.a.w menjadi orang kepercayaan Mekkah itu SEBELUM atau SESUDAH jadi Nabi? Jauh sebelum mendapat wahyu, Nabi s.a.w sudah jadi pribadi yang hebat, cerdas, dan jujur. Jadi kalau mau pakai contoh Nabi s.a.w, malah teori saya yang benar, yaitu tidak ada cendekiawan yang karbitan!
Mau pakai contoh para sahabat Nabi s.a.w? Boleh. Mana sahabat r.a yang 'karbitan'? Abu Bakar r.a? Jangan ditanya, beliau adalah da'i pertama, sudah mulia sejak awal, sudah terhormat dari sananya. Umar r.a? Temperamen iya, tapi cerdas udah dari dulu juga tuh. Utsman r.a dan 'Ali r.a? Hadeeuuuh, sama! Sama-sama sudah pintar dari kecil! Mush'ab r.a, yang dakwahnya 'menaklukkan' Madinah? Wah, pemuda paling parlente di Mekkah! Ganteng dan pintar pula. Nabi s.a.w juga bilang "yang terbaik di saat jahiliyah, terbaik juga ketika masuk Islam". Lihat kan? Nggak ada yang karbitan.
Benar, manusia bisa berubah, asal ia berkeinginan kuat, tapi gak bisa mendadak. Semuanya bertahap. Karena kebertahapan itu sunnatullaah, maka kita pelihara adab. Masak baru belajar sebentar yang dimaki-maki malah yang jauh lebih banyak prestasinya? Ini namanya kehilangan adab, bahkan merasa hebat kalau sudah bisa memaki para ulama atau mempermainkan agama. Duh kasihan, inilah yang namanya delusi. Punya keyakinan kuat akan sesuatu, dan ngotot, padahal semua bukti menentangnya.
Saya ingatkan lagi bahwa memelihara adab adalah ciri orang berilmu. Orang berilmu gak akan menyebut dirinya berilmu. Malu, soalnya banyak yang jauh lebih berilmu. Saya gak mau disebut ustad. Dan orang-orang yang saya sebut ustad pun tidak menyebut dirinya ustad. Malu itu lebih mulia. Semoga kita menjadi hamba-hamba terbaik-Nya yang mampu memelihara adab. Aamiin...
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
0 komentar:
Posting Komentar