Oleh: Hartono Ahmad Jaiz
Islam Liberal adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh.Kelompok nyeleneh itu menyebut diri mereka sebagai pembaharu atau modernis. Sekarang mereka melangkah lagi dengan kemasan barunya, yakni Islam liberal. Salah satu dari sekian banyak kelompok liberal di Indonesia ada yang menamakan diri JIL –Jaringan Islam Liberal.
Sebagai gambaran betapa banyaknya lembaga-lembaga Islam liberal, ada 44 lembaga yang pernah didanai lembaga kafir Amerika, TAF -The Asia Foundation. Sebagai rujukan, kita bisa membaca buku Hartono Ahmad Jaiz, yang berjudul: Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Darul Falah, Jakarta, 2004. Kemudian di antara pentolan-pentolan Islam Liberal ada yang menghalalkan homoseks seperti Musdah Mulia, dan membela aliran sesat Ahmadiyah seperti Azyumardi Azra. Anehnya mereka ini malah dimasukkan dalam buku 500 Tokoh Islam yang Berpengaruh di Dunia, terbitan Amman Yordan. (Baca juga: Buku 500 Muslim Berpengaruh di Dunia dari Penghalal Homoseks Sampai Pentolan AliranSesat).
Kalau boleh diibaratkan secara gampangnya, lembaga-lembaga liberal seperti JIL, Paramadina, dan semacamnya itu adalah semacam pedagang kaki lima atau kios-kios kecil yang menyebarkan ideologi Islam liberal. Sementara itu, perguruan tinggi Islam negeri se-Indonesia di bawah Depag, kini Kemenag (Kementerian Agama) itu telah difungsikan ibarat toko-toko resmi untuk menyebarkan Islam liberal alias pemurtadan. Mereka menyisipkan paham kekafiran dengan cara intensif menyekolahkan dosen-dosen IAIN se-Indonesia ke perguruan tinggi kafir di negeri-negeri Barat, Amerika, Eropa, Australia dan sebagainya. Mereka belajar atas nama studi Islam tapi ke negeri-negeri kafir.
Kemudian hasil “sisipan paham kekafiran” itu dijual di universitas-universitas IAIN, UIN, STAIN dan semacamnya, yakni perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Karena jualannya sudah berganti dengan “paham kekafiran hasil sisipan dari negeri-negeri kafir”, maka untuk memuluskannya, diubahlah kurikulum IAIN se-Indonesia oleh Harun Nasution, dari kurikulum Ahlus Sunnah diganti menjadi kurikulum yang dia sebut rasionalis. Dan kurikulum itu adalah aliran sesat. Hal ini dilakukan untuk mengubah metode memahami Islam pakai metode yang seharusnya yakni ilmu Islam itu sendiri, diganti dengan memahami Islam pakai sosiologi agama ala Barat, yang memandang agama hanya sebagai sekedar fenomena sosial.
Harun Nasution didikan sosiologi ala Barat itu lulus dari Universitas Amerika di Kairo BA jurusan Sosiologi pada tahun 1952. Kemudian dia lanjut menuntut ilmu di McGill University di Kanada. (Dia bisa ke sana karena dimasukkan oleh Prof H.M. Rasjidi, namun belakangan beliau sangat menyesali setelah kelakuan Harun Nasution bukan membela Islam tetapi malah sebaliknya).
Ada dua jalur yang ditempuh. Jalur pertama, Depag (kini Kemenag) mengirimkan secara besar-besaran dosen-dosen IAIN se-Indonesia ke negeri-negeri kafir di Barat sejak 1975, dan paling intensif di zaman Menteri Agama Munawir Sjadzali dua periode 1983-1992. Jalur kedua, Harun Nasution mengubah kurikulum dari Ahlus Sunnah diubah jadi Mu’tazilah (aliran sesat). Sehingga para dosen yang sudah pulang dari “didikan paham kekafiran dari Barat” itu tinggal jualan “paham kekafirannya” ke seluruh perguruan tinggi Islam se-Indonesia di mana mereka bertugas kembali. Akhirnya timbul pendapat yang aneh-aneh, misalnya, pendapat Nurcholish Madjid yang mengatakan Iblis kelak masuk surga dan surganya tertinggi, karena tidak mau sujud kepada Adam. Astaghfirullah… Iblis itu jelas Allah katakan membangkang dan sombong, dan dia termasuk orang-orang yang kafir. Mana ada orang kafir masuk surga?!
Juga pendapat Atho’ Muzhar, bahwa Masjidil Aqsha yang di dalam Al-Qur’an Surat Al-Israa’ itu bukan di Baitul Maqdis Palestina tetapi di Baitul Makmur di langit. Pendapat itu saya (Hartono Ahmad Jaiz) kemukakan kepada Syaikh Rajab tahun 1993 dalam Konferensi Mujamma’ Fiqh Islam di Brunei Darussalam yang didampingi Syaikh Khayyath mantan Menteri Agama Yordan. Maka Syaikh Rajab terheran-heran dan berkata: “Saya kan imam Masjidil Aqsha di Palestina.”
Demikianlah di antara kesesatan mereka. Namun atas rekayasa Depag dan Harun Nasution (dulu Rektor IAIN Jakarta) itu maka muluslah penyebaran pluralisme agama alias kemusyrikan baru di perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Maka tidak mengherankan, kemudian muncul reaksi, di antaranya ada buku yang menyoroti secara tajam pemurtadan-pemurtadan di perguruan tinggi Islam seluruh Indonesia, misalnya tulisan Hartono Ahmad Jaiz dengan judul Ada Pemurtadan di IAIN yang terbit tahun 2005. Juga buku Adian Husaini, berjudul Hegemoni. Bahkan kini pemurtadan disinyalir sudah masuk lewat jalur tingkat sekolah SD, SMP dan SMA dengan memasukkan pendidikan multikulturalisme (bahayanya sama dengan pluralisme agama atau Islam liberal) pada PAI (Pendidikan Agama Islam). Yang cukup mencengangkan, pihak Kementerian Agama (Kemenag) sendiri justru sudah menerbitkan buku mengenai multikulturalisme ini. Salah satu judul buku Kemenag ini adalah “Panduan Integrasi Nilai Multikultur Dalam Pendidikan Agama Islam Pada SMA dan SMK.” (Baca juga: MultikulturalismeSama Bahayanya dengan Pluralisme)
Jadi jangan sampai Umat Islam kini menganggap bahwa pemurtadan yang dilancarkan Islam liberal sudah berkurang intensitasnya. Bukan berkurang, tetapi justru sudah masuk secara intensif lewat jalur-jalur resmi yakni perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Di samping itu Kemenag juga mengirimkan orang-orang yang bermuatan sesat dan bekerjasama dengan lembaga lainnya, seperti yang baru-baru ini diterjunkan, 30 Dai “Rahmatan” Kemenag Dinilai Mengusung Paham Bahaya:Pluralisme Agama. Dan itu sama berbahayanya seperti kristenisasi.
Baca juga: Membongkar Kedok Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme
Baca juga: Membongkar Kedok Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme
Sumber: voa-islam.com. Dikutip dengan beberapa penyesuaian.
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/LampuIslam
YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/LampuIslam
0 komentar:
Posting Komentar