Para Orangtua yang Belajar dari Kisah Kaum Nabi Luth

Kisah dalam Al-Quran sepertinya akan mengulang kembali sejarah, dimana Allah Sang Penguasa begitu perkasa memperingatkan kaum yang melampaui batas. Kisah tersebut tersusun rapi dalam Al-Quran sebagai pelajaran bagi kaum yang akan datang. Nabi Luth hidup semasa dengan Nabi Ibrahim. Sebagaimana diutarakan oleh Al Quran, kaum Nabi Luth mempraktekkan perilaku menyimpang yang belum dikenal dunia saat itu, yaitu sodomi (homoseksual). Ketika Nabi Luth menyeru mereka untuk menghentikan penyimpangan tersebut dan menyampaikan peringatan Allah, mereka mengabaikannya, mengingkari kenabiannya, dan meneruskan penyimpangan mereka.

Pada akhirnya kaum ini dimusnahkan dengan bencana yang mengerikan. Namun apa boleh buat, ketika manusia sejengkal demi sejengkal mulai melupakan segenap risalah para nabinya, umat Nabi Muhammad pun seolah ingin membuktikan kembali betapa besarnya amarah Allah s.w.t terhadap maksiat yang dilakukan hamba-hambanya. Contohnya Indonesia sebagai negeri dengan populasi umat Muslim yang cukup besar tapi tak mampu membendung besarnya kerusakan moral yang saat ini tengah terjadi di masyarakat.

Awalnya kita tabu dengan sosok waria (wanita pria). Akan tetapi temuan fakta begitu mencengangkan. Di Indonesia, data statistik menunjukkan 8-10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu terlibat pengalaman homoseksual (Kompas Cyber Media, 2003.1 ). Hasil survei YPKN menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur mengidap homoseksual. Angka-angka itu belum termasuk kaum homo di kota-kota besar lainnya, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1% dari total penduduk Indonesia.

Salah satu contohnya adalah Dr. Dede Oetomo, yang merupakan  "presiden" gay Indonesia, yang telah 18 tahun mengarungi hidup bersama dengan pasangan homonya. Dede juga merintis publikasi Majalah GAYa NUSANTARA. Dari hasil jeri payahnya Dede mendapat anugerah Felipe de Souza Award dari International Gay and Lesbian Human Rights Commision (IGLHRC), pada tahun 1998 dan Utopian Award. (Gatra, 2003. 2).

Lalu baru-baru ini di layar kaca kita melihat sosok Renaldy Racham atau yang sekarang Dena Racham (transgender) yang tengah “naik daun.” Adanya sorotan media membawa pesan tersendiri kalau dulunya waria adalah orang pinggiran yang tidak diakui keberadaannya, namun sekarang sosok “Dena” seolah menapik anggapan tersebut, media berperan aktif  dalam pengaktualisasian mereka, media seakan "berkata" bahwa waria pun mampu “berkarya” menjadi sosok, cerdas, elegan, dan berpendidikan. Kita juga masih ingat dengan Solena Chaniago, waria yang sudah melanglang buana ke negeri Paman Sam, keberadaannya begitu disorot media Atau juga kasus pembunuhan Mayang Prasetyo yang sempat menggemparkan negeri kangguru, menambah deretan panjang daftar waria berkelas.

Peran Orangtua Dalam Mendidik Anak

Melihat banyak permasalahan bangsa ini menjadi PR berat bagi umat Islam, bahwa sesungguhnya melahirkan generasi yang mulia tidaklah instan, tapi membutuhkan proses yang panjang. Namun kita tahu Islam telah melahirkan generasi mulia para ulama yang lahir dari seorang ibu yang taat kepada Allah, ibu yang mengasuhnya sesuai perintah Allah. Tidak mungkin lahir seorang anak yang shaleh tanpa peran orangtua yang mau mendidiknya sepenuh hati.


Dalam Islam, mendidik anak antara laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Allah Ta'ala telah menakdirkan dan memutuskan bahwa laki-laki tidak seperti perempuan dalam hal sifat dan fisiknya. Laki-laki memiliki kekuatan fisik, sedangkan perempuan menurut sifat dan fisiknya lebih lemah, karena ia harus berurusan dengan masalah haid, kehamilan, melahirkan, menyusui bayi, mengurus keperluan bayi yang disusuinya, serta masalah pendidikan anak-anaknya selaku generasi penerus.

Karena itulah, perempuan diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam `alaihissalam. Ia merupakan bagian darinya, yang selalu mengikuti sekaligus menyenangkan hatinya. Sedangkan laki-laki dipercaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, menjaganya, dan memberi nafkah kepadanya. Jadi seorang ibu akan mengarahkan dan  mendidik anaknya sesuai dengan fitrah tujuan penciptaan Tuhannya. Jikalau anak itu laki-laki, maka didiklah dia menjadi seorang imam yang bertanggung jawab. Jika anaknya perempuan, maka didiklah dia supaya menjadi seorang isteri shalehah. Calon ibu seperti itulah yang akan melahirkan generasi cemerlang yang terhindar dari segala bentuk penyimpangan moral. Ibu seperti itu dipandang mulia di hadapan Allah s.w.t.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik” (QS. an-Nahl: 97). 

Wallahu’Alam

Sumber: voa-islam.com. Dikutip dengan beberapa penyesuaian.

YouTube Channel Lampu Islam: youtube.com/ArceusZeldfer
Facebook Page Lampu Islam: facebook.com/LampuIslam

Para Orangtua yang Belajar dari Kisah Kaum Nabi Luth Rating: 4.5 Diposkan Oleh: o

0 komentar:

Posting Komentar